Jangan Asal Pakai Gambar AI! Ini Etika dan Aturan Hak Cipta yang Harus Kamu Tahu

KOTA CIREBON — Kemajuan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kini memungkinkan siapa saja menciptakan gambar digital hanya dengan mengetikkan deskripsi teks. Platform seperti MidJourney, DALL·E, dan Stable Diffusion memudahkan proses kreatif, namun di balik kemudahan tersebut, muncul persoalan serius terkait etika dan hak cipta yang tidak bisa diabaikan.

Salah satu fenomena yang ramai di media sosial adalah penggunaan gambar AI dengan gaya Ghibli. Banyak pengguna memanfaatkan generator gambar AI untuk mengubah potret diri, bangunan, atau suasana kota menjadi versi imajinatif ala Studio Ghibli. Tak hanya itu, tren serupa juga muncul dengan gaya visual lain, seperti realistis ala Pixar, lukisan klasik, atau ilustrasi Jepang. Fenomena ini memang menarik secara visual dan menyenangkan untuk dibagikan, namun menimbulkan pertanyaan lanjutan: apakah gaya artistik seperti Ghibli, yang memiliki kekhasan visual tertentu, boleh direproduksi massal oleh AI?

Isu Hak Cipta dan Plagiarisme

Banyak generator gambar AI dilatih menggunakan jutaan gambar dari internet, termasuk karya seni yang dilindungi hak cipta. Sering kali, pelatihan ini dilakukan tanpa izin eksplisit dari pemilik karya asli. Hal ini memunculkan pertanyaan penting: apakah AI mencuri karya seniman, apakah hasil gambar AI bisa didaftarkan hak cipta, dan bagaimana jika gambar AI sangat mirip dengan karya orang lain?

Di banyak negara, karya yang sepenuhnya dihasilkan oleh AI tanpa keterlibatan manusia tidak dapat didaftarkan hak cipta. Amerika Serikat, misalnya, menegaskan bahwa hak cipta hanya berlaku untuk karya yang melibatkan kreativitas manusia secara langsung. Sementara itu, beberapa negara seperti Inggris dan Tiongkok memiliki pendekatan berbeda, dengan memberikan hak cipta pada karya AI dalam kondisi tertentu untuk mendukung ekonomi kreatif mereka. Di Indonesia sendiri, regulasi terkait masih sangat terbatas dan belum mengatur secara spesifik soal karya AI.

Jika gambar AI sangat mirip dengan karya asli seniman, hal ini dapat masuk ke ranah plagiarisme visual. Sejumlah seniman bahkan telah menggugat perusahaan AI karena menggunakan karya mereka tanpa izin sebagai data pelatihan, tanpa kompensasi maupun pengakuan. Dalam konteks tren gambar Ghibli, misalnya, beberapa ilustrator menyuarakan keresahan karena gaya visual khas yang mereka pelajari selama bertahun-tahun kini bisa dihasilkan dalam hitungan detik tanpa kontribusi kreatif yang setara.

Etika Penggunaan Gambar AI

Penggunaan gambar AI perlu memperhatikan beberapa prinsip etika:

  1. Transparansi: Selalu cantumkan sumber prompt dan tools AI yang digunakan saat mempublikasikan gambar AI.
  2. Pengakuan Sumber: Pilih generator AI yang jelas menyatakan sumber datanya, misalnya hanya menggunakan data dari open license atau domain publik.
  3. Perlindungan Karya Seniman: Untuk seniman digital, gunakan watermark atau platform yang melindungi karya dari scraping data AI tanpa izin.
  4. Pertimbangan Sosial: Hindari menghasilkan gambar yang memperkuat stereotip, bias, atau misrepresentasi kelompok tertentu.
  5. Lisensi Komersial: Jika gambar AI digunakan untuk tujuan komersial, pastikan lisensinya memang mengizinkan penggunaan tersebut.

Selain itu, penting melakukan riset singkat sebelum menggunakan AI agar karya yang dihasilkan tetap menghormati norma, budaya, dan kebiasaan komunitas subjek yang digambarkan.

Regulasi dan Tanggung Jawab

Uni Eropa melalui AI Act sudah mulai membahas aturan transparansi sumber data AI, sementara Amerika Serikat sedang mengkaji ulang hukum hak cipta agar lebih relevan di era AI. Beberapa perusahaan AI mulai menambahkan fitur watermark atau metadata untuk menelusuri asal gambar. Di Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta saat ini masih menegaskan bahwa pencipta karya hanyalah individu manusia, bukan mesin atau alat. Oleh karena itu, dibutuhkan regulasi yang lebih jelas dan komprehensif untuk mengatur penggunaan AI dalam konteks kekayaan intelektual.

Teknologi AI memang menawarkan kemudahan luar biasa dalam berkarya, namun penggunaannya harus dilakukan secara bijak dan bertanggung jawab. Jangan asal menggunakan gambar AI tanpa memperhatikan etika dan aturan hak cipta. Fenomena tren visual seperti gambar Ghibli atau gaya artistik populer lainnya menunjukkan betapa cepatnya AI bisa mengubah lanskap kreatif, sekaligus menimbulkan dilema hukum dan moral. Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ini, kita dapat menjaga ekosistem kreatif yang adil serta menghargai karya manusia.

Referensi

  1. Achmadi, I.M., Kamila, A. T., & Angelina, F. (2024). Penegakan Perlindungan Hak Cipta Bagi Karya Buatan Artificial Intelligence Menggunakan Doktrin Work Made For Hire. Anthology: Inside Intellectual Property Rights, 1(1), 11-19.
  2. Flick, C., & Worrall, K. (2022). The Ethics of Creative AI. Springer Series on Cultural Computing, 73–91. DOI: https://doi.org/10.1007/978-3-031-10960-7_5.
  3. Jobin, A., Ienca, M., & Vayena, E. (2019). The global landscape of AI ethics guidelines. Nature Machine Intelligence, 1(9), 389–399. DOI: https://doi.org/10.1038/s42256-019-0088-2.

Olah Data: Aam Amanah (Mahasiswa Magang Universitas Swadaya Gunung Jati)
Olah Grafis: Tisya Noptasya Dewi (Mahasiswa Magang Universitas Swadaya Gunung Jati)
Pembimbing: Dea Deliana Dewi
Penyunting: Elsi Yuliyanti

Program Pembimbingan Magang dan PKL
Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Kota Cirebon
Jalan Dr. Sudarsono No. 40, Kota Cirebon, 45134
https://dkis.cirebonkota.go.id
Instagram: @dkiskotacirebon @pemdakotacrb @ppidlapor.cirebonkota