Artikel

Etika Mengunggah Foto Anak di Media Sosial

8 September 2025
DINAS KOMUNIKASI, INFORMATIKA DAN STATISTIK
234
Bagikan ke
Etika Mengunggah Foto Anak di Media Sosial

KOTA CIREBON — Bagi banyak orang tua, membagikan foto anak di media sosial terasa wajar dan menyenangkan, sebuah cara untuk mengekspresikan kebanggaan atas tumbuh kembang dan momen lucu si kecil. Namun, tanpa sadar, kebiasaan ini memunculkan fenomena global bernama “sharenting”, gabungan dari kata sharing (berbagi) dan parenting (mengasuh), yaitu kebiasaan orang tua membagikan foto, video, atau informasi pribadi anak di dunia maya.

Riset di Eropa mencatat, rata-rata orang tua membagikan sekitar 300 foto dan data sensitif anak setiap tahun, terutama di Facebook (54%), Instagram (16%), dan Twitter (12%). Studi di Inggris bahkan menemukan angka yang lebih mencengangkan: sekitar 1.500 foto anak diunggah sebelum mereka berusia lima tahun. Sepertiga di antaranya tidak pernah meminta izin anak, dan 55% bahkan tidak khawatir akan dampaknya.

Fenomena ini turut mendorong munculnya akun-akun media sosial khusus anak yang dikelola oleh orang tua. Padahal, platform seperti Instagram dengan jelas menyebutkan bahwa pengguna harus berusia minimal 13 tahun.

Ahli etika teknologi, Jessica Barron, menilai kebiasaan ini berisiko menimbulkan penghinaan, pelanggaran privasi, dan diskriminasi di masa depan, karena setiap unggahan membentuk identitas digital anak sejak dini, bahkan sebelum mereka punya kendali atas citra dirinya sendiri. Foto sederhana, seperti saat anak menangis, marah, atau berpenampilan lucu, bisa saja menjadi bahan olok-olok ketika tersebar luas.  Sementara data pribadi seperti nama, sekolah, atau lokasi rumah berisiko disalahgunakan untuk profiling digital.

Tak berhenti di situ, para ahli memperkirakan kebiasaan sharenting akan berkontribusi pada dua pertiga kasus pencurian identitas digital anak muda pada tahun 2030. Jejak digital yang dibuat orang tua dapat membuka celah pada peretasan, pelacakan wajah dengan teknologi AI, hingga eksploitasi anak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Menariknya, kekhawatiran ini juga datang dari anak-anak sendiri. Studi Microsoft tahun 2019 menunjukkan, 42% remaja di 25 negara merasa terganggu dengan kebiasaan orang tua yang sering mengunggah foto mereka ke media sosial, dan 11% bahkan menganggapnya sebagai masalah besar dalam hidup mereka.

Dengan kata lain, di balik kebanggaan dan kasih sayang yang diunggah ke dunia maya, terdapat risiko panjang yang bisa memengaruhi keamanan dan kenyamanan anak hingga mereka dewasa nanti.

Etika Mengunggah Foto Anak di Media Sosial

GambarMelindungi anak bukan hanya tentang menjaga mereka secara fisik, tapi juga melindungi identitas dan jejak digitalnya. Berikut panduan etika yang sebaiknya diterapkan oleh para orang tua agar tetap bisa berbagi tanpa mengorbankan keamanan dan privasi anak.

1. Jangan Unggah Foto Anak Tanpa Busana

Ini adalah hal paling mendasar namun masih sering diabaikan. Foto anak tanpa busana, bahkan dalam konteks polos seperti mandi atau bermain air, dapat disalahgunakan oleh pihak dengan niat buruk, termasuk predator daring. Selain itu, di beberapa negara termasuk Indonesia, mengunggah foto anak tanpa busana bisa berimplikasi hukum karena dianggap melanggar Undang-Undang Pornografi. Pastikan anak selalu berpakaian sopan dalam setiap foto dan hindari pose yang bisa menampilkan bagian tubuh pribadi.

2. Sembunyikan Lokasi Foto Diambil

Banyak orang tua tidak sadar bahwa fitur geotag otomatis bisa mengungkap lokasi rumah, sekolah, atau tempat anak sering bermain. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk pencurian identitas, pelacakan, bahkan penculikan. Sebelum posting, matikan fitur geotag pada kamera atau platform media sosial.

3. Jaga Informasi Pribadi Anak

Data pribadi anak bukan hanya nama lengkap, tapi juga tanggal lahir, sekolah, hobi, hingga rutinitas. Ketika semua itu dikumpulkan di media sosial, terbentuklah “digital dossier” anak, rekam jejak yang bisa digunakan untuk kejahatan siber atau pencurian identitas. Hindari menuliskan keterangan seperti “hari pertama masuk TK Aisyiyah”, “ulang tahun ke-5 di rumah”, atau “les berenang setiap Sabtu jam 10”.

4. Pertimbangkan Perasaan Anak di Masa Depan

Apa yang lucu di mata orang tua hari ini, bisa menjadi sumber malu atau stres bagi anak di kemudian hari. Foto anak menangis, tantrum, atau dalam kondisi tidak pantas bisa memicu rasa tidak nyaman ketika mereka tumbuh dewasa. Tanya diri sendiri sebelum posting, “Apakah anakku akan nyaman jika foto ini masih ada di internet sepuluh tahun lagi?”

5. Atur Privasi Akun Media Sosial

Media sosial menyediakan pengaturan privasi bukan tanpa alasan. Akun terbuka (publik) membuat siapa pun dapat mengunduh, menyimpan, atau memanipulasi foto anak tanpa sepengetahuan orang tua. Karena itu, sebaiknya ubah akun menjadi private agar hanya pengikut yang disetujui yang dapat melihat unggahan. Jika ingin tetap berbagi momen tertentu, manfaatkan fitur Close Friend di Instagram atau fitur serupa di platform lain agar foto anak hanya terlihat oleh orang-orang terdekat yang benar-benar dipercaya. Selain itu, periksa ulang daftar pengikut secara berkala.

6. Hindari Membuat Akun Khusus untuk Anak

Fenomena akun Instagram anak, padahal dikelola orang tua, semakin marak. Padahal, Instagram sendiri melarang pengguna di bawah 13 tahun. Selain melanggar aturan, akun semacam ini membangun identitas digital anak tanpa izin mereka dan berpotensi memicu cyberbullying atau eksploitasi. Jika ingin mendokumentasikan tumbuh kembang anak, cukup simpan di cloud pribadi atau album digital keluarga.

7. Gunakan Watermark pada Foto

Watermark berfungsi melindungi hak cipta visual sekaligus mencegah penyalahgunaan foto oleh pihak lain. Meski tampak sepele, langkah ini menjadi lapisan perlindungan tambahan yang menandakan kepemilikan sah atas foto. Watermark dapat berupa nama akun, logo kecil, atau tulisan halus yang ditempatkan di bagian sulit dihapus tanpa merusak gambar.

8. Unggah Foto Beresolusi Rendah

Foto beresolusi tinggi lebih mudah diedit, diperbesar, atau diolah untuk keperluan yang salah seperti pembuatan deepfake atau konten palsu. Karena itu, sebelum mengunggah, kompres ukuran foto agar tetap layak dilihat tetapi tidak ideal untuk disalahgunakan.

9. Jangan Terpancing Komentar

Komentar di unggahan foto anak bisa beragam, mulai dari pujian, candaan, hingga pertanyaan yang tampak ramah namun berpotensi berisiko, seperti menanyakan alamat rumah atau sekolah anak. Ada pula komentar bernada perundungan yang bisa memancing emosi orang tua. Bijaklah dalam mengelola interaksi di kolom komentar. Bila memang perlu menanggapi, sebaiknya lakukan melalui pesan pribadi agar percakapan lebih terarah dan tidak memperluas perhatian publik.

10. Minta Izin pada Orang Tua Lain

Jika foto menampilkan anak lain misalnya teman bermain, sepupu, atau teman sekolah, pastikan sudah mendapat izin dari orang tua mereka. Tidak semua orang tua nyaman jika wajah anaknya muncul di media sosial, apalagi tanpa konteks atau pengawasan mereka. Beberapa mungkin khawatir soal privasi, keamanan, atau penyalahgunaan gambar. Jadi, hormati keputusan mereka, bahkan jika foto itu tampak sepele.

11. Persetujuan Anak

Jika anak sudah cukup besar untuk memahami, libatkan mereka dalam keputusan untuk mengunggah foto. Penelitian menunjukkan bahwa anak usia 9-13 tahun umumnya mulai memiliki kesadaran dasar tentang media sosial dan privasi, termasuk pemahaman bahwa apa yang diunggah bisa dilihat banyak orang.

12. Batasi Frekuensi Unggahan

Terlalu sering menampilkan wajah atau aktivitas anak di media sosial bisa menempatkan mereka dalam sorotan yang tidak sehat, sekaligus meningkatkan risiko eksploitasi dan penyalahgunaan data oleh pihak ketiga. Unggahlah dengan jeda yang wajar dan pertimbangkan apakah setiap momen benar-benar perlu dibagikan.

Menjadi orang tua di era digital berarti belajar menyeimbangkan kebanggaan dengan perlindungan. Mengunggah foto anak boleh saja, asalkan disertai kesadaran bahwa dunia maya bukanlah ruang pribadi. Sekali foto dibagikan, kendali atasnya bisa hilang dan dampaknya bisa mengikuti anak hingga mereka dewasa.

Kita bukan hanya penjaga fisik mereka, tapi juga penjaga jejak digital mereka. Satu foto yang tampak sepele hari ini bisa menjadi beban besar di masa depan. Cinta sejati orang tua tidak diukur dari seberapa banyak momen yang dibagikan, melainkan dari seberapa besar upaya menjaga anak agar tumbuh aman, nyaman, dan bermartabat, baik di dunia nyata maupun dunia digital.

Referensi:

  1. Burn, E. (2021). #Warriors: Sick Children, Social Media and The Right to An Open Future. Journal of Medical Ethics, 48, 566-571.
  2. CBS News. (2022). Posting Photos Of Your Children On Social Media? Experts Warn There May Be Consequences. Diakses dari https://www.cbsnews.com/sacramento/news/posting-photos-of-your-children-on-social-media-experts-warn-there-may-be-consequences/.
  3. Febrina, A. (2019). Motif Orang Tua Mengunggah Foto Anak di Instagram (Studi Fenomenologi terhadap Orang Tua di Jabodetabek). Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu, 12(1), 55-65.
  4. Ferrara, P., et al. (2023). Online “Sharenting”: The Dangers of Posting Sensitive Information About Children on Social Media. The Journal of Pediatrics, 257, 1-3.
  5. Habibah, N. (2024). Memposting Anak di Sosmed? Ini 15 Batasan-batasannya. Diakses dari https://www.altaglobalschool.com/blog/memposting-anak-di-sosmed-ini-dia-batasan-batasannya.
  6. Parentalk.id. (t.t). Penting! 6 Etika Unggah Foto Anak di Media Sosial. Diakses dari https://parentalk.id/6-etika-mengunggah-foto-anak-di-media-sosial/.

Penulis: Elsi Yuliyanti
Olah Grafis: Elsi Yuliyanti
Penyunting: Linda Suminar

Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Kota Cirebon
Jalan Dr. Sudarsono No. 40, Kota Cirebon, 45134
https://dkis.cirebonkota.go.id
Instagram: @dkiskotacirebon @pemdakotacrb @ppidlapor.cirebonkota

Bagikan ke