Artikel

Digital Minimalism: Filosofi Hidup untuk Menata Ulang Hubungan Kita dengan Teknologi

10 November 2025
DINAS KOMUNIKASI, INFORMATIKA DAN STATISTIK
84
Bagikan ke
Digital Minimalism: Filosofi Hidup untuk Menata Ulang Hubungan Kita dengan Teknologi

KOTA CIREBON — Pernah nggak sih kamu merasa ponselmu seperti perpanjangan tangan? Selalu di dekatmu, selalu menyala, dan setiap bunyi notifikasi terasa penting untuk segera dicek. Dari pagi sampai malam, layar jadi pusat segalanya: buat kerja, komunikasi, hiburan, bahkan sebelum tidur pun masih sempat lihat pesan masuk.

Tapi tanpa sadar, koneksi yang terus menyala itu justru bisa mengikis ketenangan. Pikiran jadi sulit diam, waktu luang terasa sibuk tapi kosong makna, dan tubuh pun cepat lelah meski nggak banyak bergerak. Kita hidup di dunia yang superterhubung, tapi sering kali malah merasa jauh dari diri sendiri.

Sampai akhirnya, banyak dari kita sampai pada satu kesadaran sederhana:

“Aku ingin tetap hadir di dunia digital, tapi tanpa kehilangan diriku sendiri.”

Nah, dari sanalah muncul pentingnya memahami "Digital Minimalism", sebuah filosofi hidup yang membantu kita menata ulang hubungan dengan teknologi. Bukan berarti menjauh dari dunia digital, tapi belajar untuk hadir dengan lebih sadar, fokus, dan berimbang.

Mengenal Konsep Digital Minimalism

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Cal Newport lewat bukunya “Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World” (2019). Menurut Newport: Digital minimalism is a philosophy that helps you question what digital communication tools (and behaviors surrounding these tools) add the most value to your life.

Intinya, digital minimalism mengajak kita untuk menggunakan teknologi secara sadar dan selektif, hanya untuk hal-hal yang benar-benar mendukung nilai dan tujuan hidup. Kita tidak lagi membiarkan notifikasi atau algoritma mengatur waktu, tapi kita sendiri yang memutuskan apa yang pantas mendapat perhatian.

Berikut sembilan prinsip utama yang bisa jadi panduan untuk mulai menerapkannya.

  1. Kehilangan Bukan Hal Buruk. Kita sering merasa takut ketinggalan kalau nggak ikut semua tren atau mencoba setiap aplikasi baru. Padahal, nggak semua hal di dunia digital perlu diikuti agar hidup kita bermakna. Alih-alih sibuk menghitung apa yang “hilang” karena nggak dilakukan, lebih baik fokus pada nilai yang kita dapat dari hal-hal yang benar-benar penting. Dengan begitu, waktu dan energi yang terbatas bisa terarah pada hal yang menambah makna hidup.
  2. Lebih Sedikit Bisa Berarti Lebih Banyak. Semakin sedikit aktivitas digital bernilai rendah yang kita lakukan, semakin besar ruang untuk hal-hal penting. Kadang kita lupa, terlalu banyak informasi justru membuat pikiran penuh tapi tidak dalam. Prinsip ini mengingatkan bahwa doing less, but better sering kali membawa hasil yang lebih baik daripada melakukan semuanya sekaligus.
  3. Mulailah dari Prinsip Dasar. Sebelum menentukan aplikasi apa yang perlu digunakan, atau akun mana yang akan diikuti, penting banget untuk tahu dulu: apa nilai utama hidup kita? Kalau sudah tahu arah dan tujuan, kita bisa mengukur setiap keputusan digital dengan satu pertanyaan sederhana: “Apakah hal ini benar-benar menambah nilai bagi sesuatu yang penting dalam hidup saya?". Dengan cara ini, teknologi menjadi alat yang melayani tujuan hidup, bukan sebaliknya.
  4. Pilih yang Terbaik, Bukan Sekadar Cukup Baik. Tidak semua aktivitas digital memberi nilai yang sama. Kalau tujuannya memperluas wawasan, misalnya, membaca buku digital atau mendengarkan podcast berkualitas tentu lebih bermanfaat daripada sekadar mengikuti linimasa media sosial. Fokus pada the best way untuk mencapai tujuan, bukan pada semua cara yang ada.
  5. Kekacauan Digital Menambah Stres. Bayangkan meja kerja yang penuh berkas dan kabel, pasti bikin sumpek, kan? Hal yang sama juga berlaku di dunia digital. Terlalu banyak aplikasi, tab yang terbuka, dan notifikasi tanpa henti menciptakan kebisingan yang melelahkan mental. Dengan memangkas hal yang tidak perlu, kita memberi ruang bagi pikiran untuk beristirahat dan fokus kembali.
  6. Perhatian adalah Sumber Daya Langka. Setiap hari, perhatian kita diperebutkan oleh notifikasi, iklan, dan konten dari berbagai arah. Padahal perhatian itu aset paling berharga. Sekali tersedot, sulit dikembalikan. Kalau kita tidak mengatur perhatian, dunia digital akan melakukannya untuk kita. Maka, menjaga fokus berarti menjaga kendali atas diri sendiri.
  7. Dunia Digital Seharusnya Memperkaya Kehidupan Nyata. Teknologi seharusnya membantu kita hidup lebih baik di dunia nyata: menemukan komunitas, memperluas wawasan, atau mendukung pekerjaan. Nilai sejatinya muncul saat kita bisa menutup layar dan mewujudkan hal-hal baik yang ditemukan di dunia digital ke dalam tindakan nyata.
  8. Waspadai Alat yang Menciptakan Masalah Baru. Nggak semua aplikasi hadir untuk mempermudah hidup. Beberapa justru diciptakan untuk membuat kita terus terikat. Maka, sebelum mengunduh sesuatu, coba tanya: “Apakah alat ini benar-benar membantu saya, atau hanya membuat saya sibuk tanpa arah?”. Berpikir kritis akan menyelamatkan kita dari jebakan “produktif palsu” yang sebenarnya hanya buang waktu.
  9. Aktivitas Lebih Bermakna daripada Pasifitas. Manusia pada dasarnya menemukan makna lewat proses mencipta, bukan hanya mengonsumsi. Gunakan teknologi untuk menulis, membuat karya, atau membangun sesuatu yang bermanfaat, bukan sekadar scrolling tanpa tujuan. Aktivitas kreatif memberi rasa pencapaian yang nyata dan memulihkan energi mental.

Langkah Kecil Menuju Hidup Digital yang Lebih Sadar

Menurut laporan We Are Social dan Meltwater (2024), rata-rata orang Indonesia menghabiskan 7 jam 38 menit per hari di internet, dan 3 jam 11 menit di antaranya di media sosial. Bayangkan, hampir sepertiga hari kita dihabiskan menatap layar! Wajar kalau banyak orang mulai merasakan digital fatigue, kelelahan akibat banjir informasi. Gejalanya bisa berupa sulit fokus, produktivitas menurun, gangguan tidur, bahkan muncul rasa cemas tanpa sebab.

Tapi kabar baiknya, kita nggak perlu langsung “puasa digital total”. Digital minimalism justru dimulai dari langkah-langkah kecil yang bisa kamu lakukan setiap hari.

Gambar

  • Tinjau Ulang Aplikasi di Ponselmu

Coba lihat satu per satu aplikasi yang ada di ponsel. Tanyakan: “Apakah aku benar-benar butuh ini?”. Kalau ada aplikasi yang cuma bikin tergoda diskon, atau game yang hanya dibuka pas bosan, mungkin sudah waktunya dihapus. Sisakan aplikasi yang benar-benar mendukung kebutuhan utama: pekerjaan, komunikasi, keuangan, atau hiburan sehat. Dengan begitu, kamu nggak lagi buka ponsel “tanpa alasan.”

  • Matikan Notifikasi yang Nggak Penting

Nggak semua notifikasi butuh perhatianmu. Coba matikan notifikasi dari media sosial, toko online, atau game yang sering muncul tiba-tiba. Biarkan hanya notifikasi penting yang aktif, seperti panggilan, pesan keluarga, atau pengingat kerja. Dijamin, otakmu akan jauh lebih tenang tanpa bunyi “ting” yang terus-menerus.

  • Tetapkan Zona Waktu Tanpa Layar

Satu jam sebelum tidur dan satu jam setelah bangun bisa jadi waktu emas untuk bebas layar. Gunakan untuk membaca buku, menulis jurnal, beribadah, atau sekadar menikmati sarapan dengan tenang. Lakukan beberapa hari saja, dan kamu akan merasakan bedanya: tidur lebih nyenyak, pikiran lebih jernih, suasana hati lebih stabil.

  • Gunakan Teknologi dengan Tujuan Jelas

Sebelum buka media sosial, tanya dulu: “Aku buka ini buat apa?”. Kalau hanya karena bosan, coba pilih aktivitas lain yang lebih bernilai. Tapi kalau tujuannya untuk belajar, mencari informasi, atau berinteraksi dengan seseorang, gunakan dengan batas waktu yang jelas.

  • Temukan Aktivitas Pengganti di Dunia Nyata

Kebiasaan scrolling bisa digantikan dengan hal-hal sederhana: jalan sore, memasak, bercocok tanam, menulis, atau ngobrol dengan orang terdekat. Aktivitas nyata seperti ini bisa mengembalikan rasa hadir, sesuatu yang sering hilang saat kita terlalu lama di dunia digital.

Digital minimalism bukan tentang menjauh dari teknologi, tapi tentang hidup dengan kendali penuh atas teknologi. Kita punya pilihan: menjadi pengguna yang sadar, atau sekadar pengguna yang terbiasa. Dengan langkah kecil yang konsisten, kita bisa merebut kembali kendali atas waktu, perhatian, dan kualitas hidup. Karena terkadang, cara terbaik untuk benar-benar terhubung dengan dunia, adalah dengan menonaktifkan layar, dan menyalakan kesadaran.

Referensi:

  1. Kumar, S., & Nath, L. (2024). ‘Digital Minimalism’ - A Study to Find Out Ways to Make the Best Use of Digital Technologies and Minimise It’s Ill-Effects. ShodhKosh: Journal of Visual and Performing Arts, 5(1), 279-290. DOI: 10.29121/shodhkosh.v5.i1.2024.640.
  2. Newport, C. (2016). On Digital Minimalism. Diakses dari https://calnewport.com/on-digital-minimalism/.
  3. Newport, C. (2019). Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World. United Kingdom: Penguin Books Limited.
  4. Shaw, K. (2024). We Are Social + Meltwater Digital 2024 Report: Global Social Media Users Pass 5BN Milestone. Champaign Brief Asia. Diakses dari https://campaignbriefasia.com/2024/01/31/we-are-social-meltwater-digital-2024-report-global-social-media-users-pass-5bn-milestone/

Penulis: Elsi Yuliyanti
Olah Grafis: Elsi Yuliyanti
Penyunting: Linda Suminar

Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Kota Cirebon
Jalan Dr. Sudarsono No. 40, Kota Cirebon, 45134
https://dkis.cirebonkota.go.id
Instagram: @dkiskotacirebon @pemdakotacrb @ppidlapor.cirebonkota

Bagikan ke